Kamis, 21 Oktober 2010

PROBLEMATIKA PERAWAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KESEHATAN DIRUMAH SAKIT PADA MASYARAKAT

Latar Belakang Masalah
Menjelang era pasar bebas atau dikenal AFTA (Asean Free Trade Assosiation) diperlukan kesiapan yang mantap dari semua sektor, termasuk sektor kesehatan khususnya rumah sakit. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit, diantaranya adalah akreditasi rumah sakit yang ada saat ini mulai dituntut oleh masyarakat pengguna jasa pelayanan rumah sakit (Departemen Kesehatan RI, 1990).
Rumah sakit merupakan salah satu mata rantai didalam pemberian pelayanan kesehatan serta suatu organisasi dengan sistem terbuka dan selalu berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai suatu keseimbangan yang dinamis mempunyai fungsi utama melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan serta sebagai tempat penelitian berdasarkan surat keputusan.
Tenaga perawat yang merupakan “The caring profession” mempunyai kedudukan penting dalam menghasilkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena pelayanan yang diberikannya berdasarkan pendekatan bio-psiko-sosial-spiritual merupakan pelayanan yang unik dilaksanakan selama 24 jam dan berkesinambungan merupakan kelebihan tersendiri dibanding pelayanan lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Tuntutan dan kebutuhan asuhan keperawatan yang berkualitas di masa depan merupakan tantangan yang harus dipersiapkan secara benar-benar dan ditangani secara mendasar, terarah dan sungguh-sungguh dari rumah sakit. Tanggung jawab ini memang berat mengingat bahwa keperawatan di Indonesia masih dalam tahap awal proses professional.
Kualitas pelayanan keperawatan suatu rumah sakit dinilai dari kepuasan pasien yang sedang atau pernah dirawat yang merupakan ungkapan rasa lega atau senang karena harapan tentang sesuatu kebutuhan pasien terpenuhi oleh pelayanan keperawatan yang bila diuraikan berarti kepuasan terhadap kenyamanan, kecepatan, pelayanan, keramahan dan perhatian. Sementara rasa puas sendiri mempunyai nilai yang relative tergantung dari masing-masing individu (Wijono, 2003).
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya yaitu tingkat pendidikan, pengetahuan, beban kerja, pelatihan dan masa kerja.




BAB II
PERAWAT.
A.      Definisi Peran Perawat
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. (Kozier Barbara, 1995:21).
Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.
Tenaga keperawatan merupakan sumber daya mayoritas yang bekerja di rumah sakit dan juga merupakan tenaga yang melakukan kontak langsung dan kontak paling lama dengan pasien oleh karena itu penanganan dan pengelolaannya harus lebih diperhatikan agar mereka dapat menjalankan peranannya sesuai dengan ilmu dan keahlian yang dimilikinya.
Perawat adalah sumber daya kesehatan terdekat dengan masyarakat yang telah dimiliki pemerintah yang terlupakan untuk dilibatkan lebih besar dalam mengatasi problematika kesehatan masyarakat.

B.      PADA PERAN INI PERAWAT DIHARAPKAN MAMPU
  1. Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga , kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks.
  2. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien, perawat harus memperhatikan klien berdasrkan kebutuhan significan dari klien.
Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan mulai dari masalah fisik sampai pada masalah psikologis.
C.      Elemen Peran
Menurut pendapat Doheny (1982) ada beberapa elemen peran perawat professional antara lain : care giver, client advocate, conselor, educator, collaborator, coordinator change agent, consultant dan interpersonal proses.
D.     Client Advocate (Pembela Klien)
1.      Tugas perawat :
a.       Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform concern) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya.
b.      Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan karena klien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak klien.
Seorang pembela klien adalah pembela dari hak-hak klien. Pembelaan termasuk didalamnya peningkatan apa yang terbaik untuk klien, memastikan kebutuhan klien terpenuhi dan melindungi hak-hak klien (Disparty, 1998 :140).
2.      Hak-Hak Tenaga Kesehatan antara lain :
a.       Hak atas informasi yang benar
b.      Hak untuk bekerja sesuai standart
c.       Hak untuk mengakhiri hubungan dengan klien
d.      Hak untuk menolak tindakan yang kurang cocok
e.       Hak atas rahasia pribadi
f.        Hak atas balas jasa
3.      Conselor
Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual.
Peran perawat :
·         Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap keadaan sehat sakitnya.
·         Perubahan pola interaksi merupakan “Dasar” dalam merencanakan metode untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya.
·         Memberikan konseling atau bimbingan penyuluhan kepada individu atau keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman yang lalu.
·         Pemecahan masalah di fokuskan pada masalah keperawatan
4.      Educator :
Mengajar adalah merujuk kepada aktifitas dimana seseorang guru membantu murid untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses interaktif antara guru dengan satu atau banyak pelajar dimana pembelajaran obyek khusus atau keinginan untuk merubah perilaku adalah tujuannya. (Redman, 1998 : 8 ). Inti dari perubahan perilaku selalu didapat dari pengetahuan baru atau ketrampilan secara teknis.










BAB III
MASALAH YANG TIMBUL DALAM PELAYANAN KESEHATAN DIRUMAH SAKIT

Sebut satu saja pekerjaan yang sangat mulia, jawaban yang mungkin paling banyak muncul adalah perawat. Betapa tidak, merawat pasien yang sedang sakit adalah pekerjaan yang sangat sulit. Tak semua orang bisa memiliki kesabaran dalam melayani orang yang tengah menderita penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar perawat berpendapat bahwa  faktor lingkungan kerja antara lain motivasi kerja, proses manajemen, penghargaan profesi, tehnik komunikasi, kepekaan hati nurani, rasa percaya diri dan kreativitas perawat sangat mempengaruhi perawat dalam melaksanakan perannya. Begitu pula dengan faktor lingkungan keluarga yang turut serta mempengaruhi pekerjaan perawat sehari-hari di rumah sakit.  
Beberapa factor yang yang mempengarui pelayanan kesehatan dirumah sakit oleh perawat:
1.     Tingginya biaya tarip rumah sakit.
Dalam etika profesi, menyelamatkan kehidupan adalah nilai etik yang baik dan sudah sepantasnya setiap tenaga medis melakukan hal itu. Tetapi pada sisi ini pula telah timbul konflik tersendiri, menyangkut kualitas kehidupan yang bagaimana yang akan dipertahankan. Belum lagi dari segi biaya pelayanan tarip rumah sakit terhadap kesehatan yang harus dikeluarkan pasien. Jika untuk mempertahankan kehidupan diperlukan biaya yang amat besar dan pasien tidak mampu menyediakannya, apakah tenaga medis akan memaksakan atau bagaimana jika pasien menolak perawatan dan penanganan medik untuknya? Semua hal di atas sepenuhnya jelas merupakan salah satu factor yang mempengarui dalam pelayanan kesehatan.

2.     Rumah sakit bukan lagi sebagai sentral pelayanan kesehatan tetapi juga  dijadikan lahan bisnis.
Kesadaran untuk tetap memegang teguh etika menjadi pekerjaan yang sangat sulit dilakukan oleh seorang dokter di tengah tuntutan ekonomi dewasa ini. Profesi kedokteran perlahan menuju kearah proletar dan bukan lagi professional, maka yang diutamakan hanyalah kompetensi tanpa watak baik, sehingga sisi kemanusiaannya semakin terkikis. Dalam polemik ini, pelayanan kesehatan tidak lagi berdasarkan kemanusiaan, tetapi berorientasi kepada bisnis.
Sehingga peran peran perawat sesuai dengan sumpah yang ucapakn di kode etik keperawan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Peran perawat sebagai berikut :
·         Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform concern) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya.
·         Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan karena klien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak klien.
3.     Salah sasarnya pemberian pelayanan kesehatan gratis pada masyarakat miskin.
Dewasa ini semakin muncul ke permukaan kasus-kasus kelalaian pelayanan kesehatan, baik yang dilakukan oleh  rumah sakit secara institusional. Peran pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu merupakan tanggung jawab bagi pihak pemerintah dimana Semakin berkembangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat atas hak mereka khususnya dalam pelayanan kesehatan gratis. Tetapi kadang kalah hak mereka dirampas oleh pihak pemerinta setempat dikarenakan pemerintah tidak lagi memandang strata social pada masyarakat tetapi yang berhak mendapatkan kesehatan gratis adalah pihak biorokarasi setempat, system kekeluargaan, kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat kurang mampu tentang keehatan gratis dan tingkat poendidikan masyarakat kurang mampu rendah, sehingga tidak dapat mengurus surat keterangan kurang mampu. Penyelasan tadi menyebabkan salah sasarannya pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang kurang mampu.  

4.      Kurang perlengkapan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh perawat dalam memberikaikan pelayanan kesehatan.
Berbagai manfaat dapat diperoleh dari optimalisasi peran dan tanggung jawab perawat. Manfaat utama adalah peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan yang luas hingga pelosok tanah air. Karena pelayanan kesehatan dilakukan secara optimal dengan menyediakan perlengkapan sarana dan prasarana yang dibuthkan olehtega medis, dokter dan perawat hingga kepelosok tana air, maka biaya rujukan dan perawatan lan jutan akibat bertambah parahnya penyakit pasien di rumah sakit dapat dihemat, subsidi bisa dialihkan untuk sektor kesehatan lain. Sehingga, penyakit-penyakit akibat kurangnya pengetahuan dan perilaku budaya tidak sehat seperti gizi buruk, penyakit infeksi, kematian ibu dan bayi dapat lebih ditekan.
Bila hal diatas dapat tercapai, derajat kesehatan penduduk indonesia akan semakin meningkat. Produktifitas penduduk meningkat dengan human development index yang baik akan meningkatkan martabat bangsa. Peningkatan kompetensi perawat juga memberi peluang masuknya devisa negara, mengingat kebutuhan perawat di negera-negara maju sangat besar dan saat ini minat masyarakat Indonesia menjadi perawat masih cukup tinggi.












BAB IV
Penutup
1.     Kesimpulan.
berdasarkan penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwah factor-faktor yang dapat mempengarui pelayanan kesehatan oleh perawat pada rumah sakit yaitu:
a.       tingginya biaya tarip rumah sakit,
b.      rumah sakit di jadikan sebagi ajang bisnis.
c.       Salah sasarannya pemberian surat keterangan tidak mampu.
d.      Minimnya sarana dan prasarana kesehatan.
Factor  di ataslah yang berperan besar dalam memberikan pelayanan secara propesional.
2.     Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan diatas, disarankan kepada pihak pemerinta dan manajemen rumah sakit beberapa hal yaitu:
  1. Mengupayakan agar dilengkapinya sarana dan prasana yang dibutuhkan agar dapat memperlancar pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga keperawatan sehari-hari.
  2. Pendidikan dan pelatihan yang rutin kepada semua perawat pelaksana sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan rasa percaya diri mereka.
  3. Memberikan promosi pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat.
  4. Mengembalikan fungsi utama rumah sakit bukan dijadikan ajang bisnis.
Demikianlah faktor-fakktor  yang mempengarui sistem pelayanan dirumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, M.A.W., Alisjahbana, A., Sidharta, A. 1983. Rumah Sakit Dalam Cahaya Ilmu Jiwa. Sentuhan Manusiawi. PT Grafidian Jaya. Jakarta.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan   Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
Davis, L. 2005. Florence Nightingale. Suggested Reading. http://www.nurseweek.com/celce650a.htm/. Diakses 2005.
Departemen Kesehatan. 1997. Standar Asuhan Keperawatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Jakarta.
Departemen Kesehatan. 1998. Standar Asuhan Keperawatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Jakarta.
Dossey, B.M. 1995. Florence Nightingale. Distinguished women of past and present. http:// www.microsoft.com/encarta/. Diakses 2005.
Handoke, V.S. 2005. Birokrasi Medis. Opini. Universitas Atmajaya. Jogjakarta.
Ismani, N. 2000. Etika Keperawatan. Penerbit Widya Medika. Jakarta.
Miles, B. Matthew and Huberman. 1992. Analisis data kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohidi, UI Press, Jakarta.
Nontji, W. 2004.  Manajemen dalam Keperawatan. Bahan Kuliah pada Program Magister Administrasi Rumah Sakit UNHAS. Makassar.
Nurachmah, E. 1999. Hubungan antara falsafah, paradigma, model konseptual, teori keperawatan dan metodologi ilmiah. Makalah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Jakarta.
Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan. Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.
Sabarguna, B Ismani, N. 2000. Etika Keperawatan. Penerbit Widya Medika. Jakarta.
Scott, G. 2005. An Equal Opportunity/Affirmative Action Employers. http:// www.state.ma.us/. Diakses 2005
Soeroso, S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Rumah Sakit. Suatu Pendekatan Sistem. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sumarni. 2003. Sumber Daya Manusia Rumah Sakit. Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng-DIY.
Swanburg, R.C. 2000. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan untuk Perawat Klinis. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.


pelayanan kesehatan miskin


Biaya kesehatan
Belum banyak yang berubah. Pada akhirnya kita selalu mesti mengurut dada menyaksikan penelantaran pasien-pasien miskin di rumah-rumah sakit mewah atau mendengarkan keluh-kesah mereka yang tak kunjung sembuh setelah sekian lama berdiam di rumah sakit. Pada akhirnya kita acap kali juga akan menjadi terbiasa dan semakin mahfum akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan di negeri kaya raya ini, atau membaca berita malapraktik oleh dokter dan paramedik lain yang nyaris tak tersentuh hukum di negara dengan produk perundang-undangan berlimpah ini.
Di negeri ini, kesehatan dengan segala aspeknya memang belum menjadi primadona. Alih-alih untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yang salah satunya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mengurus persoalan hukum saja kita masih keteteran. Padahal itu menjadi tulang punggung penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan penyehatan warga negara.
Para pembesar negeri ini, diakui atau tidak, sudah semakin berkepribadian instant; mengejar hasil pembangunan yang sekejap bisa dipandang mata. Sehingga urusan yang sedikit ruwet seperti pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan upaya kesehatan dan aksesibilitas pendidikan, menjadi urutan kesekian dalam etalase program pembangunan yang sesungguhnya, jauh di bawah urusan politik, militer dan ekonomi makro.
Padahal, mungkin kita semua juga mengetahui, bahwa kesehatan dan pendidikan menjadi prasyarat eksistensi kita, eksistesi bangsa ini. Pada gilirannya, membincang negeri ini, kita sekaligus akan selalu membicarakan kebobrokan demi kebobrokan. Bukan merupakan salah negara, melainkan salah para penyelenggaranya; mereka mengetahui tetapi tidak memahaminya, mengiyakan tetapi kemudian tidak menjalankannya.
Kegilaan
Dalam diskursus pendidikan kedokteran jiwa, fenomena (pemerintahan) seperti ini sudah termasuk ke dalam gangguan jiwa. Sebuah keadaan yang ditunjukkan dengan adanya hendaya (ketidakmampuan) menilai realitas, ketakmampuan secara normatif menggunakan waktu secara benar sesuai kondisinya.
Kondisi ini seakan-akan berada pada sisi abnormal dimana bisa saja terdapat beragam halusinasi (waham) dan hendaya lainnya. Pada banyak penderita gangguan jiwa dijumpai adanya waham dan penurunan kemampuan tilikan (insight) secara signifikan, sehingga mereka sulit mengidentifikasi dan mengkritisi diri secara normatif.
Birokrat-birokrat kita, mungkin lebih banyak berlaku seperti ini. Coba saja saksikan proses pilkada di banyak tempat. Janji-janji yang ditawarkan oleh para kandidat melalui kampanye politik merupakan bentuk ‘kebaikan” sesaat untuk mendapat image sebagai “kandidat yang baik”, tetapi pada kenyataannya nanti tidak banyak terbayar. Tidak peduli apakah ada kemampuan mewujudkan janji itu atau tidak, sebagian besar mereka tetap memaksakan diri mengucapkannya kepada rakyat.
Ada semacam “waham” kebesaran yang menghiasi kepibadian mereka, sehingga menjadi sulit untuk lebih realistis dengan kondisi mereka sendiri.
Ada juga pejabat publik yang selalu bertindak seolah-olah penderma, seakan bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan dengan hanya memberikan uang kepada mereka yang miskin itu. Tidak sedikit dari mereka, setelah merasa cukup populis, kemudian memaksa diri mencalonkan sebagai kandidat kepala pemerintahan, meskipun kapasitasnya jauh di bawah standar.
Trend seperti ini kemudian banyak melahirkan tokoh-tokoh politik picisan, terlahir secara premature melalui kekuatan modal, tetapi menjadi kosong ketika ditanyakan kompetensinya. Apalagi ketika kita menuntut bukti janji mereka untuk perbaikan hidup rakyat.
Masih banyak fenomena birokrasi lain yang dewasa ini, secara perlahan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang mulai lumrah oleh masyarakat kita. Kritik yang sebelumnya selalu banyak kita dengar dan saksikan, kini melemah dan seakan-akan malah bersikap pro (setuju) dengan realitas bobrok ini. Mulai ada yang terbangun semacam kesepakatan psikososial dimana fenomena kebobrokan birokrasi ini dianggap sudah bisa diterima sebagai sebuah budaya baru yang lebih modern. Jika hendak jujur, sebenarnya tidak berlebih juga ketika kita lantas mengakui sebagai sama-sama gila!
Di masyarakat kita, tak dapat dimungkiri kini tengah berkembang semacam proses reduksi nilai dan norma-norma yang terjadi secara sadar sebagai salah satu bentuk adaptasi mereka terhadap perkembangan trend sosial politik yang nyaris tanpa nilai (unvalueable sociopolitical trend). Ironisnya lagi, proses ini berlangsung tanpa frame yang cukup jelas, sehingga genaplah sudah kebobrokan negeri ini. Pada tingkatan birokrasi pemerintahan kita merana, sementara pada lapisan masyatakat kita ambruk dan miskin nilai. Selamat datang di negeri tanpa busana. Demikian bunyi sebuah slogan yang sedang ditrend-kan oleh sekelompok anak muda melalui weblog mereka.
Pelayanan Kesehatan
Dengan penjelasan di atas, menjadi mudah menebak apa yang terjadi pada berbagai sektor pembangunan di negeri ini. Tak terkecuali kesehatan. Sebagai sebuah elemen konstitutif yang peranannya tidak bisa tergantikan oleh yang lain – seperti diungkapkan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi yang terkenal itu, kesehatan seharusnya diletakkan sebagai sebuah program investatif karena menyangkut bagaimana menyiapkan sumber daya berkualitas yang akan melanjutkan pembangunan bangsa di masa depan melalui penyiapan generasi sehat lahir dan batin.
Untuk itu, secara normatif, pembangunan kesehatan seharusnya dilangsungkan sebagai sebuah prioritas bangsa, tidak boleh digeser oleh sektor lainnya. Jika ini terjadi, maka masa depan sebuah bangsa menjadi samar, tak jelas siapa yang akan melanjutkan perjuangan membangun bangsa selanjutnya. Mungkinkah Indonesia sudah seperti ini?
Kesehatan, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), merupakan kondisi dimana secara fisik, psikis dan sosial memungkinkan seseorang dapat hidup secara optimal. Sehingga dengan demikian, pelaksanaan pembangunan kesehatan harus secara sistematis dan menjadi bagian integral dari pembangunan secara keseluruhan. Pembangunan kesehatan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari pembangunan pendidikan dan ekonomi misalnya, karena ada banyak faktor yang berpengaruh dalam status kesehatan kita.
Menurut H.L Blum, seorang pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat, status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh sedikitnya empat hal, yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor keturunan (genetic). Sebagai sebuah sistem, pembangunan kesehatan mestinya dilangsungkan dalam beberapa subsistem secara terencana. Merujuk Sistem Kesehatan Nasional (SKN) kita, subsistem-subsistem yang dimaksud adalah upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, manajemen pembangunan kesehatan dan partisipasi masyarakat.
Sebenarnya, dengan kondisi seperti di atas, pada mana mentalitas birokrasi dan sebagian masyarakat kita yang perlahan semakin bobrok, kita sudah bisa meramalkan bahwa sebagus apapun konsep pembangunan dan program-programnya, pencapaiannya tidak akan optimal sesuai yang diharapkan. Kita sesungguhnya bukan negara yang miskin kerangka konseptual dalam perencanaan pembangunan, malah berbagai rencana program pembangunan kita tersusun rapi di kantor-kantor pemerintahan.
Dalam bidang kesehatan ada Dokumen Visi Indonesia Sehat 2010, juga digenapkan dengan lahirnya dokumen Sistem Kesehatan Nasional. Kesemua itu merupakan kerangka konseptual yang tidak kalah mumpuni disbanding dengan dokumen-dokumen perencanaan pengentasan kemiskinannya WHO.
Tapi di mana kelemahan kita sehingga, mewujudkan sedikit saja dari semua tujuan dalam kerangka tersebut, menjadi sangat sulit? Jawabannya adalah pada kegilaan birokrasi kita. Pada kelemahan mentalitas birokrat dan pemerintah kita. Ini semakin diperparah dengan minimnya pengawasan dan kritisasi melekat yang diperankan rakyat.
Setiap tahun penyakit-penyakit infeksi yang sama kembali terjadi. Epidemi demam berdarah, malnutrisi, malaria dan beragam penyakit lain, masih tetap bertengger pada statistic penyakit dominan di negeri ini. Bukan karena kita “tidak bisa” belajar dari masa lalu, tetapi menurut saya, kita memang belum pernah “mau belajar” dari masa lalu.
Birokrat kesehatan di negeri ini keterusan asyik masygul dengan pencegahan wabah flu burung – sebuah fenomena new emerging forces, pada saat yang sama, korban DBD dan malaria berjatuhan di sana-sini. Kita tengah dihimpit sebuah fenomena double burden, secara bersamaan menghadapi penyakit-penyakit infeksi dan degeneratif. Akhirnya banyak daerah secara terpaksa dikategorikan mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD, diare dan sejumlah penyakit yang semestinya tidak akan terulang lagi tahun ini.
Semua ini menggambarkan betapa pembangunan kesehatan di negeri ini, dengan tidak menafikkan sector lain, mesti mendapat prioritas dari pemerintah dan birokrat yang berkuasa, dengan sejenak menyembunyikan kegilaan dan mentalitas bobrok selama ini. Sudah terlalu lama rakyat menderita dan menunggu janji-janji perbaikan kesehatan untuk semua!
Salah satu dari subsistem yang cukup fundamental dari Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pembiayaan kesehatan.
Ketiadaan atau tidak optimalnya pembiayaan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dan program lainnya, merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang kita inginkan.
Betapa tidak, hampir semua aktivitas dalam pembangunan tak dapat dipungkiri, membutuhkan dana dan biaya.
Beberapa faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan antara lain :
  • Kuantitas anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan sektor swasta.
  • Tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan (fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanankesehatan dan akses dan pelayanan yang berkualitas.
Oleh karena itu, reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan, pemerataan, efisiensi dan efektifitas.
Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan yang memadai akan menolong pemerintah di suatu negara untuk dapat memobilisasi sumber-sumber pembiayaan, mengalokasikannya secara rasional serta menggunakannya secara efisien dan efektif.
Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak kepada masyarakat miskin akan mendorong tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan dalam bidang ini mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi.
Pelayanan kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. Penyebab yang lain adalah dominasi pembiayaan pelayanan kesehatan dengan mekanisme pembayaran tunai dan lemahnya kemampuan dalam penatalaksanaan sumber-sumber dan pelayanan itu sendiri.
WHO memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada umumnya adalah dalam area sebagai berikut:
  • Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan,
  • Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan masyarakat miskin,
  • Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial,
  • Penggalian dukungan nasional dan internasional, Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional,
  • Pengembangan kebijakan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah,
  • Pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan secara tunai perorangan, menghilangkan hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya serta kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Rencana strategik Depkes 2005-2009 disebutkan bahwa meningkatkan pembiayaan kesehatan merupakan salah satu dari empat strategi utama departemen kesehatan disamping menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas serta meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan.
Sasaran dari strategi utama meningkatkan pembiayaan kesehatan itu adalah;
  • Pembangunan kesehatan mendapatkan penganggaran yang memadai oleh pemerintah pusat dan daerah,
  • Anggaran kesehatan pemerintah lebih diutamakan untuk pencegahan dan promosi kesehatan dan
  • Terciptanya sistem jaminan pembiayaan dalam sektor ini, terutama bagi masyarakat miskin.